Senin, 18 April 2011

HUTANKU DIRUSAK SAUDARAKU

Sebelum kita masuk pada pembicaraan topik pada artikel kita ini,alangkah baiknya kita membahas mengenai apa sendiri hutan dan gunanya hutan dalam dunia dengan pemanfaatan dalam kehidupan sehari – hari.Dalam pembicaraan pertama kita membahas mengenai hutan yang berada di Indonesia terlebih dahulu
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.

Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman

Jenis-jenis hutan di Indonesia

Berdasarkan biogeografi

Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya. Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul. Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
  • Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali dan Lombok. Garis ini mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
  • Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902, memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan yang ada di Benua Australia.
  • Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber. Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu merupakan palung laut yang sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti menyebar.

Berdasarkan iklim

Dari letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu:
  • Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
  • Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
  • Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Berdasarkan perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan hutan muson.
Hutan gambut ada di daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
Hutan hujan tropis menempati daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae (terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia, Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
Hutan muson tumbuh di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis), walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana (Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
Sesuai dengan judul pada artikel saya ini,langsung saja kita membahas pada Penebangan Hutan secara liar dengan berpengaruhnya pada dunia kita ini.
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Fakta penebangan liar

Dunia

Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar.
Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.

Amerika

Di Brasil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan ilegal tersebut.
Produk kayu di Brasil sering diistilahkan dengan "emas hijau" dikarenakan harganya yang mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya).
Mahogani ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas di Amazon.

Penyebab dan Dampak Rusaknya hutan Kit

Sudah sangat sering diungkapkan keluhan masyarakat secara nasional maupun internasional tentang kebakaran hutan yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan mengganggu kegiatan sehari-hari terutama bidang transportasi baik darat, laut maupun udara. Agar hal ini tidak terulang lagi sebagaimana terjadi di penghujung tahun 90-an jika musim kemarau selalu saja terjadi kebakaran hutan yang menimbulkan asap tebal. Kondisi udara, awan dan atmosfer yang ditutupi asap seperti pulau Kalimantan dan Sumatera yang cukup luas terkadang menembus ke wilayah tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Hutan Indonesia sebagai produsen asap sering mendapat protes tidak hanya dari negeri jiran bahkan dunia internasional. Sebagai bangsa beradab dan berbudaya kita seharusnya menyikapi hal ini dengan serius tidak hanya mengekploitasi tetapi juga serius mengelola dan memanfaatkan agar hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia dapat lestari.

Penguasa di masa lalu hanya menitikberatkan penyebab kerusakan dan kebakaran hutan kepada masyarakat seperti peladang berpindah, penebang liar atau perambah hutan dan perkebunan. Namun dampak kerusakan lingkungan yang lebih dahsyat dari penebangan pengusaha HPH sama sekali nyaris tak terdengar. Selalu saja yang menjadi kambing hitam adalah masyarakat miskin, peladang berpindah atau penebang liar. IMPAS-B merasa berkewajiban menyampaikan suara-suara dari sisi pedalaman karena mereka secara langsung adalah keluarga atau anak cucu peladang berpindah.
Tuduhan tersebut adalah sangat tidak adil, masyarakat keberatan jika kebakaran hutan adalah akibat kebodohan dan ketidakmauan masyarakat mengikuti petunjuk pemerintah seperti pelarangan penebangan hutan dan berladang berpindah, karena pekerjaan itu telah beratus ratus tahun sudah ada tetapi mengapa baru sekarang timbul dampaknya dan menjadi permasalahan. Tanpa bermaksud apapun tulisan ini berdasarkan penelitian dan pengalaman tentang apa yang IMPAS-B lihat dan IMPAS-B rasakan. Sejak tahun 2005 IMPAS-B telah menapakkan kaki di belantara terutama di wilayah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan tepatnya di perbukitan sekitar Paramasan, sungai pinang sampai daerah Riam Kanan dengan kekayaan ”Hutan Tropis Kahung”
Penyebab Rusaknya Hutan di Kasel
Ladang Berpindah
Sebagaimana kita maklumi di daerah Kalimantan Selatan kualitas sumberdaya lahan dan tanah untuk pertanian di perbukitan sangat kurang, sehingga apabila sudah ditanami dua sampai tiga kali terulang lahan tersebut tidak potensial lagi, ditambah dengan teknologi pertanian yang sangat tradisional. Karena itulah masyarakat yang dipimpin Kepala Padang (Kepala Ladang) membuka hutan lagi untuk lahan pertanian baru demi kelangsungan hidup mereka.
Proses tradisional ini sudah berlangsung ratusan tahun atau semenjak manusia Kalimantan mulai berbudaya hingga sekarang ini. Sepengetahuan IMPAS-B hingga penghujung tahun 80-an tidak ada dampak negatif dari aktivitas ladang berpindah karena sewaktu pembakaran lahan masyarakat selalu siap di sekeliling tepian hutan (dalam arti jangan sampai hutan ikut terbakar).
Berladang bagi masyarakat Dayak Kalimantan (penghuni hutan) hanya sekadar untuk mencukupi keperluan pangan saja, tidak sebagai usaha komersial, dan mereka mencukupi kebutuhan lainnya dengan mengambil apa saja yang bernilai ekonomis yang ada di hutan. Peladang berpindah selalu membuka hutan baru berdasarkan perkiraan musim atau iklim. Menurut pengamatan dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab masyarakat Dayak Kalimantan yang menghuni hutan, berladang bagi mereka adalah keharusan alami.
Bekas ladang di tepian hutan yang ditumbuhi rumput dan tanaman muda merupakan lahan santapan yang sangat diperlukan marga satwa penghuni rimba raya sehingga menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang sangat harmonis. Terlihat adanya ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan. Flora menghidupkan fauna dan fauna menebarluaskan flora.
Ladang berpindah sebenarnya tidak merusak lingkungan yang berarti walaupun ada tetapi tidak sebagai penyebab utama kerusakan hutan, karena sewaktu membakar lahan selalu dijaga dan secara emosional mereka memiliki kearifan ekologis terhadap lingkungan sebagai tempat mencari penghidupan.
Penebang Liar
Di masa orde lama istilah “penebang liar” tidak pernah dikenal khususnya di daerah Paramasan Bawah. Kalau masyarakat penghuni kawasan hutan berladang untuk mencukupi keperluan pangan beras, maka untuk keperluan hidup lainnya mereka memanfaatkan sumberdaya hutan lainnya.
Sebelum negeri ini merdeka masyarakat sudah mengenal dan memanfaatkan hasil hutan dengan menebang secara manual atau cara tradisional. Perdagangan hasil hutan berupa kayu saat itu dilakukan secara barter dalam skala lokal. Kayu sebagai bahan bangunan rumah tinggal hanya kulitnya saja yang dapat mereka ambil karena minimnya teknologi dan keterampilan mereka masa itu.
Masyarakat dengan cara manual tidak mampu mengambil kayu yang jaraknya melebihi 500 m dari anak sungai apalagi kalau sudah dibatasi bukit. Berdasarkan data yang ada sejak tahun 1980 tidak pernah terjadi dampak negatif dari aktivitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat di hutan Kalimantan yang mengganggu lingkungan hidup baik kehidupan flora, fauna dan bagi masyarakat. Begitu pula tentang kebakaran hutan dan kabut asap hingga tahun 1980 belum pernah menyaksikan langsung atau mendengar ceritanya.
Penebangan Oleh Pemilik HPH
Sejujurnya, apa saja yang kita lakukan terhadap hutan baik ladang berpindah, perambah hutan, penebang liar, lahan perkebunan, produksi bahan bangunan seperti balok-balok ulin dan siap dan ekploitasi hutan oleh pemilik HPH kesemuanya itu akan mengganggu ekosistem dan merusak habitat hutan. Perbedaannya terletak pada besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan akibat permanfaatan hutan.
Kondisi hutan pasca eksploitasi oleh pemilik HPH, di pulau Kalimantan khususnya di Kabupaten Banjar, memiliki struktur yang utuh, rapat, padat dan berpotensi besar. Hutan yang indah, cantik nan serasi ini menurut pengamatan kami memerlukan waktu ribuan tahun untuk pemantapannya.
Beberapa jenis kayu hidup bergantian hingga menjadi satu kesatuan hutan yang saling melindungi. Di dalam hutan kalau kita membaca lingkungannya secara arif seakan-akan suatu perpaduan yang harmonis, saling bantu dalam masing-masing pertumbuhannya. Kehidupan suatu jenis tumbuhan seperti telah diatur untuk membantu kelangsungan hidup yang lain.
Hutan yang masih utuh perawan sangat indah, kokoh menakjubkan. Daun, ranting dan dahan rapat menjaga sinar matahari agar tidak tembus leluasa ke bawah pohon. Kerapatan daun fungsinya sangat besar yaitu melindungi kawasan semak dan belukar di bawahnya agar dedaunan yang membusuk menjadi humus dan menyerap air sebagai persediaan air hujan jika musim kemarau tiba. Perilaku hutan ini juga merupakan upaya hutan secara alami melindungi dirinya dari bahaya kebakaran.
Hingga penghujung tahun 1960 hutan di kawasan Kabupaten Banjar masih dikategorikan kokoh padat walaupun ada eksploitasi masyarakat secara manual. Di awal tahun 1970 pemilik HPH dalam hal ini PT. KODECO mulai memasukkan alat-alat ke kawasan hutan untuk mengeksploitasi hutan. Peralatan yang handal ini dalam waktu singkat mengakibatkan hutan lumpuh berantakan, istilah hutan gundul mulai dikenal masyarakat.
Berikut ini coba kita bandingkan antara aktivitas peladang berpindah, penebang liar dan eksploitasi HPH dengan alat beratnya. Peladang berpindah hanya berlokasi sekitar pemukiman penduduk dan sekadar mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari. Tebangan liar hanya berlokasi pada sekitar daerah aliran sungai (DAS) karena hanya mengandalkan tenaga manusia dan siklus alami. Sedangkan eksploitasi pemilik HPH dengan peralatan berat dan modern mampu menjangkau lokasi dan kawasan hutan mana saja yang mereka inginkan.
Kita tidak merinci berapa juta pohon yang sudah dibabat dan berapa meter kubik volumenya selama lebih 30 tahun. Kitapun tidak mengungkap bagaimana kejahatan KKN di instansi kehutanan, perilaku tidak bijak dalam mengelola hutan atau manipulasi data dan dokumen di mana terdapat kayu yang tidak memiliki dokumen resmi atau dokumen kayu yang volumenya 2.000 m3 bisa melindungi kayu yang volumenya 10.000 m3?.
Kekhawatiran kita terfokus pada perubahan perilaku alam jika kawasan hutan lumpuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena ketidakmampuan hutan yang telah dibabat untuk pulih kembali atau tidak ada upaya mengembalikan fungsi hutan dengan rehabilitasi dan reboisasi (yang sebenarnya, bukan di atas atau laporan ketika ada kunjungan pejabat pusat) saja. Jika hutan tidak mampu lagi menyimpan air, menjaga kelembabannya di musim kemarau agar tidak terbakar dan sebagai daerah penyangga luapan air di musim hujan di mana air menumpuk di kawasan hulu sungai daerah pasang surut.
Dampak Terjadinya Kerusakan Hutan di Kalsel
Hutan perawan sebagaimana di uraikan di atas dengan kerapatan utuh 100 persen maka sinar matahari tidak dapat menembus ke bawah sehingga daun-daun lapuk selalu basah walau di musim kemarau sekalipun sehingga tidak mudah dilalap api. Jika hutan itu terbuka dalam hamparan yang luas seperti pasca eksploitasi HPH, dengan kerapatan dibawah 50 persen maka akan mudah terbakar. Akibatnya dedaunan busuk dengan humus yang tebal, ranting dan dahan yang kering lekang sehingga dengan pemantik kecil saja kawasan ini segera terbakar.
Keadaan hutan yang sudah longgar, pohon-pohon besar dan kecil ditebang dan tidak ada regenerasi berdampak pada perairan terutama anak-anak sungai akan banjir besar dan menerima debit air yang melebihi kapasitas normal. Sungai yang dahulunya tidak bisa meluap dan begitu bersahabat sekarang sebaliknya, seperti banjir di Martapura, Kabupaten Banjar tahun 2006. Sedangkan di musim kemarau persediaan air sangat kurang.
Fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukit dan pegunungan di Kalimantan sudah kurang fungsinya sebagai penahan air agar secara perlahan-lahan mengalir ke muara sungai. Yang kita khawatirkan jika musim hujan tiba dengan curah hujan sangat tinggi yang merupakan siklus sepuluh tahunan maka air akan tertumpuk di daerah muara tepatnya di daerah Banjarmasin dan Barito Kuala. Genangan air ini bisa bertahan lama 1 sampai 2 minggu atau lebih karena arus air ke muara tertahan pasang surut sedang kiriman air dari hulu sungai martapura terus berlangsung apalagi di muara juga terjadi hujan.
Analisis ini di tahun-tahun mendatang jika benar terjadi berakibat pengungsian penduduk secara massal, karena usaha penduduk mati total di saat banjir. Lahan sawah, kebun dengan segala infrastrukturnya tergenang dalam waktu cukup lama. Kawasan rawa yang kami maksud sebagai tempat menumpuknya air kiriman dari pegunungan sebenarnya bukan hanya di selatan Kabupaten Banjar, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala, tetapi akan terjadi di seluruh kawasan rawa yang diapit pegunungan Muller, Schawanner, dan pegunungan Meratus. Kawasan ini adalah kawasan persawahan pasang surut dan pemukiman penduduk.
Dampak bagi daerah selatan atau kawasan pasang surut seperti Kota Banjarmasin dan sekitarnya, air pasang akan bertambah tinggi bisa menjangkau naik ke dalam rumah penduduk dan menggenangi jalan-jalan raya. Apalagi jika kita ingat analisis seorang akademisi Unlam ketika Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalteng digulirkan yang menyatakan tunggu saja limpahan air dari hulu akan menenggelamkan dataran yang lebih rendah (dan sialnya Banjarmasin adalah kawasan rendah yang lebih dekat ke laut Jawa).
Benar atau tidaknya analisis ini seyogiyanya menyadarkan kita akan bahaya yang mengancam berupa banjir atau genangan air besar-besaran akibat dari rusaknya tatanan hutan, bukan bermaksud menakut-nakuti dengan mendramatisir masalah apalagi memprovokasi tetapi lebih pada warning bahwa penyelamatan hutan merupakan tanggung jawab kita bersama kepada Tuhan bagi anak cucu dikemudian hari.
Air sungai, utamanya Sungai Barito terlalu sering surut dan mengalami penurunan fungsi sebagai alur transportasi vital. Terganggunya fauna, terutama habitat perairan bagi ikan. Sangat susah mendapatkan beberapa species ikan di Sungai Barito bahkan di kawasan anak sungai.
Dengan sedikit curah hujan bisa mendatangkan luapan sungai-sungai kecil, kebakaran hutan dan lain-lain. Dampak negatif dari kerusakan hutan dan lingkungan yang akan kita wariskan kepada generasi penerus, anak cucu kita haruslah diantisipasi semaksimal mungkin.
Mempertimbangkan ancaman yang akan datang sebagai mana analisis kami di atas maka kami mengimbau jajaran aparat terkait dan lingkungan hidup, kehutanan, pemegang HPH, cendekiawan, kelompok akademisi, MAPALA, KPA dan LSM serta tokoh masyarakat Kalsel terutama pihak-pihak yang mencurahkan perhatiannya kepada kelestarian alam, marilah kita sama-sama berdialog, duduk bersama mencari solusi terbaik tentang tata cara mengelola sumberdaya alam ini secara baik, arif bijak dan ramah lingkungan.
Pulau Kalimantan dengan kawasan rawa pasang surut yang luas sangat rawan banjir menjadi genangan yang luas jika kawasan hulu, bukit dan pegunungan tidak mendapat perhatian serius. Save our trofical forest, save our life. Karena betul “…bahwa hutan dan aturan yang terdapat didalamnya adalah sekolah terbaik bagi manusia….
Dampak penebangan hutan di Indonesia dirasakan sampai Negara Australia. Australia telah memastikan komitmen bantuan bagi Indonesia senilai 40 juta dollar Australia lewat International Forest Carbon Initiative atau Prakarsa Karbon Hutan Internasional. Bantuan tersebut merupakan bagian dari bantuan senilai 200 juta dollar AS dan mencakup Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan yang ditujukan guna memangkas emisi gas rumah kaca akibat penggundulan hutan.
nyelesaikan masalah iklim. Australia dan Indonesia bekerja keras mengatasi masalah ini," kata Menteri Perubahan Iklim Australia Penny dalam wawancara dengan Kompas.com pada saat berlangsungnya Konferensi Australia-Indonesia di Sydney, Jumat (20/2).
Penny Wong menjelaskan, negaranya sebagai negara maju perlu membentuk kerangka kerja sama dan kebijakan dengan negara berkembang seperti Indonesia untuk menyukseskan kampanye internasional mengatasi perubahan iklim. Keseriusan ini ditunjukkan oleh Australia dengan meninggalkan sekutunya, AS, yang sejauh ini belum mengesahkan Protokol Kyoto.
Lewat International Forest Carbon Initiative, Australia membantu Indonesia memeragakan bagaimana mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan penebangan hutan. Dana bantuan senilai 30 juta dollar Australia telah dialokasikan untuk Kemitraan Iklim dan Hutan Kalimantan.
Proyek di kawasan hutan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, itu ditujukan pada uji coba pendekatan berbasis pasar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melindungi dan memulihkan 100.000 hektar hutan tanah gambut. Proyek ini tentu diharapkan oleh Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja baru yang diarahkan pada kelestarian hutan tanah gambut.
Australia juga membantu Indonesia mendirikan Sistem Akutansi Karbon Nasional serta kebijakan dan strategi nasional. Bantuan senilai 10 juta dollar Australia ini ditujukan guna mengurangi deforestasi serta membentuk pengawasan satelit untuk mengurangi kebakaran hutan dan sistem untuk mendukung partisipasi di pasar perdagangan karbon internasional.

"Australia dan Indonesia juga sedang mengkaji proyek lain tentang memeragakan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi wilayahnya belum ditentukan oleh Pemerintah Indonesia," kata Penny Wong. "Australia mengambil peran menghimpun insentif dari kalangan perusahaan nasionalnya untuk memberikan dukungan dana dan teknis bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam masalah ini," tambahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar